Sunday 30 June 2013

MI: Jual Ginjal demi Ijazah Anak

(SH/Septiawan) Warga Kamal, Jakarta Barat, Sugiyanto (kiri), bersama anaknya, Sarah, membawa poster yang memberi informasi menjual ginjalnya di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (26/6). Untuk menebus ijazah SMP hingga SMA putrinya, tukang jahit keliling ini harus membayar Rp 70 juta. JAKARTA - Pepatah kasih ayah sepanjang masa agaknya berlaku bagi Sugianto (45). Lelaki yang bekerja sebagai tukang jahit keliling ini nekat menjual satu ginjalnya demi menebus biaya ijazah sang anak yang ditahan pihak pesantren. Aksi menjual ginjalnya ini dilakukan Sugiarto sekitar pukul 10.00 WIB di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (26/6), ditemani putrinya, Sarah Melanda Ayu (19). Ayah lima anak ini menuturkan, ia nekat menjual ginjal lantaran lelah mencari jalan keluar guna menebus ijazah anaknya yang ditahan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Desa Waru, Parung Bogor, Jawa Barat sebesar Rp 70 juta. Sugiarto menyayangkan pihak sekolah yang menahan ijazah anaknya dari SMP hingga SMA. “Saya disuruh bayar Rp 70 juta yang di antaranya penebusan ijazah SMP Rp 7 juta dan SMA Rp 10 juta serta biaya per hari kehidupan anak saya di pesantren sebesar Rp 20.000 selama tujuh tahun,” ungkap Sugiarto saat dihubungi SH, Selasa (25/6) malam. Sugiarto menambahkan, ketika anaknya masuk SMP tahun 2005, sebenarnya dalam perjanjian tidak ada pungutan biaya sama sekali. Namun, kenyataanya setelah pemimpin pesantren Habib Segaff meninggal tahun 2010 karena sakit, peraturan di pesantren itu berubah drastis. “Karena peraturan pesantren sudah berubah drastis sejak pemimpin pesantren meninggal dan diteruskan sang istri Umi Wahedah, pesantren semakin tidak jelas. Saya terkadang satu minggu sekali baru bisa datang ke Bogor untuk menemui istri almarhum sebagai pemimpin pesantren, namun tidak pernah ada di lokasi. Padahal untuk datang ke Bogor, saya harus bekerja dua minggu secara maraton menjadi tukang jahit keliling,” keluh lelaki yang tinggal di Jalan Kebon Dua Ratus, Tegal Alur, RT 07/RW 02 Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat ini. Sebelum memutuskan menjual ginjal, Sugiarto sudah berusaha ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Agama serta Komnas HAM. Namun semuanya gagal. Terlebih saat datang ke Kemendikbud, ia merasa mereka tutup mata atas kejadian yang dialami putri keduanya yang lulus SMA tahun lalu itu. Sarah mengaku sedih lantaran ayahnya berniat menjual satu ginjalnya. “Ayah sudah benar-benar nekat merelakan ginjalnya dijual. Besok (hari ini) saya sama Ayah akan ke Jakarta untuk mencari orang yang mau membeli,” katanya sambil menangis. Mimpi Sarah untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah terancam batal jika ijazah SMP hingga SMA belum kunjung diberikan oleh pesantren. Sarah menceritakan, permintaan biaya ijazah itu karena ada aturan baru yang diterapkan pemimpin baru, yang tak lain adalah istri almarhum Habib Segaff. Namun, di balik itu semua ada sosok Habib Krisna yang kembali muncul, meski sebelumnya pernah dipecat Habib Seggaf. Menurut Sarah, Habib Krisna kerap kedapatan bermesraan dengan istri almarhum Habib Segaff. “Mereka kerap bermesraan dan ada foto-foto mereka sedang berduaan, serta kalau pulang dari pesantren selalu berdua. Banyak santri-santri lainnya juga yang menyaksikan dan mengetahui kedekatan sang istri dengan Krisna,” ungkap Sarah. Sarah membeberkan, semenjak kembalinya sosok Habib Krisna yang tidak diketahui peranannya di pesantren, banyak kebijakan yang berubah. Bahkan, Habib Krisna pernah memukul salah satu santri hingga lebam. “Saya tidak tahu Habib Krisna itu sebagai apa di pesantren. Yang jelas, semenjak dia kembali ke pesantren semua kebijakan berubah. Bukan hanya saya saja yang disuruh bayar uang penebusan ijazah, ada ratusan murid, baik SMP, SMA dari tahun 2010 hingga sekarang yang ijazahnya ditahan dan harus menebus dengan biaya puluhan juta,” paparnya. Bantah Tahan Ijazah Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman membantah adanya penahanan ijazah santri yang sudah menyelesaikan pendidikannya, termasuk santri yang ingin keluar dari lingkungan pesantren. Menurut Humas Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Ustaz Saefuddin, yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (26/6), mereka tidak pernah menahan ijazah santri atau siswa. Ia mengaku, selama ini pihaknya belum pernah bertemu keluarga Sarah untuk mengambil ijazah. “Sesuai prosedur di sini, setiap santri atau siswa yang hendak mengambil ijazah harus melalui saya,” jelas Saefuddin. Menurutnya, humas yang akan mengantarkan siswa atau keluarga ke bagian terkait di dalam pondok pesantren. “Jadi, saya belum pernah bertemu keluarga Sarah Melanda Ayu. Kalau ingin bertemu dengan Ibu (Umi Wahedah-red) memang jarang ada di tempat karena beliau untuk menutupi kebutuhan pesantren,” paparnya. Saefuddin bahkan menyatakan, berdasarkan catatannya, Sarah justru banyak melanggar aturan yang ditetapkan Pondok Pesantren. “Sarah juga pernah kabur dari pondok perempuan. Tapi kemudian diantar lagi sama orang tuanya. Karena kebaikan pemimpin, Sarah kemudian diterima lagi,” katanya. Setiap lembaga mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati. Demikian juga dengan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman. “Jika siswa-siswi atau santri yang melanggar aturan maka ada sanksi yang harus diterima. Sanksi itu adalah bentuk pembinaan mental. Saya yang juga santri di Pondok Pesantren ini siap dihukum kalau melanggar aturan,” tandasnya. (CR-36) Sumber : Sinar Harapan @ SHNEWS.CO :

No comments: